Dalam setahun belakangan ini, media kerap memberitakan bahwa pendidikan di Indonesia menekankan sisi kognitif.
Beberapa pekan lalu, Bapak Wamendik Prof. Musliar Kasim menyatakan
bahwa pendidikan di Indonesia saat ini terlalu menitik-beratkan pada
aspek kognitif. Ini ulangan pernyataan Beliau, bahwa pendidikan sekarang
hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif dan meminggirkan
pendidikan karakter bangsa (Kompas Edukasi, 5 Mei 2012).
Terlebih, tak jarang pendidikan yang mengembangkan sisi kognitif
dipertentangkan dengan pendidikan karakter. Bahkan, sesekali pendidikan
yang menekankan sisi kognitif dituduh sebagai penyebab masalah, seperti
tawuran. Misalnya di berita
Tawuran Sahabatnya Pelajar (Republika
Online, 7 Desember 2012) dituliskan: “Ada banyak hal yang menyebabkan
pelajar lebih suka tawuran. Sistem pengajaran yang lebih mengutamakan
aspek kognitif misalnya.”
Pencitraan negatif aspek kognitif ini diungkapkan dengan sangat tepat
oleh Rocky Gerung. Dikatakannya bahwa sekarang ini sepertinya ada
kejengkelan pada aspek kognitif.
Tentu tak pernah ada penelitian yang mengatakan semakin tinggi sisi
kognitif seseorang, semakin tinggi peluang kekerasan. Yang terjadi
justru pendidikan di Indonesia saat ini terlalu menceramahkan moral,
sekaligus lalai menumbuhkan kecakapan berpikir kritis dan analitis.
Hasil survei Programme for International Student Assessment dan
Trends in International Mathematics and Science Study berkala sejak
sebelum 2000 sampai 2011 justru menunjukkan sisi kognitif siswa
Indonesia sangat lemah dan stagnan. Memang betul siswa Indonesia sangat
kuat dalam domain “mengingat”, yang tak butuh mengolah informasi. Namun,
pada tingkatan yang perlu pemrosesan informasi, siswa Indonesia sangat
lemah. Ini berarti pembelajaran Matematika dan IPA di Indonesia belum
berhasil mengembangkan sisi kognitif.
Sisi kognitif dan karakter pada praktiknya mustahil dipisahkan.
Keduanya beriringan. Sekolah yang berhasil dalam pendidikan karakter
juga mengembangkan atmosfer yang mendukung dan merawat proses berpikir
(Costa dan Kallik, 2009, hal 76).
Pengetahuan ilmiah
Sesudah menyalahkan pendidikan yang menekankan domain kognitif
sebagai penyebab kekacauan sosial, kemudian tampaknya tercetus gagasan
dan hasrat memorali pengetahuan ilmiah. Moral yang sejak 1980-an gagal
ditumbuhkan melalui penataran ratusan jam sekarang hendak dipaksakan
lewat jalan pintas lain, yakni disisipkan di pengetahuan ilmiah. Dari
pergerakan elektron di Kimia sampai perhitungan akuntansi di Ekonomi
disuntikkan perbendaharaan kata-kata moral. Penyusun Kurikulum 2013
secara gamblang mengompromikan pengetahuan ilmiah, tanpa rasa segan
secuil pun.
Upaya memorali memang tak selalu salah, tetapi masalahnya moral yang
terkandung dalam pengetahuan ilmiah belum tentu sama dengan moral
sehari-hari. Sikap jujur atau patuh terhadap hukum dibutuhkan dalam
kehidupan bermasyarakat. Namun, di matematika, misalnya, tak dikenal
norma jujur. Jika siswa menuliskan 2 + 3 = 7, itu bukan tak jujur,
tetapi salah. Jika seseorang menghitung luas persegi panjang dengan cara
menjumlahkan–bukan mengalikan–panjang dan lebar, itu bukan tak patuh,
tetapi salah. Dengan pemaksaan memorali ini, substansi disiplin keilmuan
dibengkokkan, dicocok-cocokkan, hingga menghasilkan sains berwujud aneh
dan keliru. Ini gambaran kelahiran pseudoscience/sains semu.
Pada satu ujung ekstrem, ada pendapat bahwa sains haruslah tetap
sains, tak boleh dicemari unsur non-sains (Heidi H. Jacobs, 2010, hal.
43). Namun, sebenarnya menyisipkan etika masih wajar, asalkan tak
melanggar hakikat pengetahuan ilmiah dan budaya ilmiahnya. Akademisian
AIPI, Prof. Umar A. Jenie berpendapat bahwa etika dalam sains membuat
pengembangan sains tetap di jalur untuk kemaslahatan manusia. Dan, dalam
konteks Indonesia, etika tersebut harus diturunkan dari Pancasila.
Secara umum, setiap cabang pengetahuan ilmiah sudah mengandung
moralnya sendiri. Lebih cerdas dan berguna sebenarnya mengenali
sekaligus mengembangkan moral yang berasal dari hasil proses
berilmu-pengetahuan. Contohnya, bertanggung jawab itu adalah norma
alamiah yang terkandung dalam proses berilmu-pengetahuan, yakni
senantiasa memberikan alasan pada setiap pernyataan ilmiah.
Dalam kasus kejadian pelanggaran hakikat berilmu-pengetahuan di
tataran kebijakan nasional seperti disinggung di atas, sebenarnya sudah
tersedia mekanisme pengendaliannya. Akademisi pendidikan tinggi
sejatinya menjadi garda penjaga berjalannya hakikat keilmuan. Namun,
mengapa mekanisme tersebut tidak berfungsi sekarang ini? Misalnya pada
kekisruhan kasus UN dan Kurikulum 2013, dapat dilihat bagaimana justru
kebanyakan perguruan tinggi menutup mata. Mempertaruhkan pendidikan
tinggi dengan menerima mahasiswa baru berdasarkan UN yang terang
benderang ringkih dasar pernalarannya sekaligus semrawut pelaksanaannya
justru dilakukan oleh perguruan tinggi sendiri. Kemudian, kenyataan
penyusunan buku ajar untuk Kurikulum 2013 yang kurang saksama, dengan
mutu meragukan, dan hanya 1,5 bulan (Kompas, Sosok, 7/6) juga tak
meresahkan perguruan
tinggi.
Dengan tata kelola perguruan tinggi seperti sekarang, sulit
mengharapkan akademisi peduli, merdeka berpendapat, dan gigih
menyampaikan koreksi. Kemdikbud terkesan bak adi-rektorat untuk seluruh
perguruan tinggi di Indonesia. Pemikiran tentang perlunya kemerdekaan
pengelolaan perguruan tinggi yang tak sekadar kemandirian mengurus
keuangan ini disampaikan 20-an akademisi pada saat bertandang ke kantor
Wakil Presiden, 21 Mei 2013.
Agar pengetahuan ilmiah dapat berkembang, bermanfaat, dan memajukan
bangsa, perlu atmosfer yang menjamin kemerdekaan berilmu-pengetahuan.
Untuk menciptakan atmosfer seperti ini dibutuhkan jajaran kepemimpinan
yang percaya diri dan berdaya sehingga berani berbagi kewenangan serta
kekuasaan. Ini senada pernyataan di Tajuk Rencana (Kompas, 4/6) bahwa
Kemdikbud perlu melakukan reformasi birokrasi. Ini tak sulit. Jika
menyusun buku ajar sekaligus melatih guru yang begitu rumit dengan
sangat yakin dapat dikerjakan secepat kilat, semestinya menuntaskan
reformasi atau revolusi budaya birokrasi sebelum tahun ini berakhir tak
sulit.